Rabu, 26 Agustus 2009

Selamat Tinggal

Aku tersedak,
nafasku tertahan di kerongkongan yang kering.
peluhku mengalir deras menjelajahi lekuk tubuhku.
jiwaku serasa melayang di keasingan yang menakutkan.

Kakiku tak lagi berpijak pada bumi
tanganku lumpuh tuk menggapai pucuk-pucuk cemara
gumamku teramat lirih
nyaris tak mampu mengucapkan selamat tinggal...

Terbunuh Sunyi

Tatkala senja mulai manabur serbuk sunyi,
Burung hantu melantunkan lagu sendu di atas bukti bebatuan.
lalu keheningan menyelimuti setiap hati dan jiwa.
semuanya hanyut tenggelam dalam gulita yang membunuh.

aku berdiri di suatu tempat yang menakutkan
hanya ada ratapan tangis pilu yang ditujukan kepada wanita-wanita tua.
tidaklah pantas lelaki pemarah sepertiku terlena dalam penderitaan berbalut kesunyian hingga mencengkram keteguhan hati.
seperti cengkaraman cakar burung hantu pada kerongkongan tikus mangsanya.
tapi kesunyian benar-benar menambah suasana derita sedih
jiwa-jiwa yang menjerit pilu,
menambah kemalangan yang berseliweran dalam jurang menganga.

Adalah

Ada kalanya aku bertanya
namun tak mendapat jawaban.
aku hanya mengeluh dalam kesedihan
ketika tak mampu menguak arti amarahmu.

kau sungguh misteri...
binar-binar ayumu luruh seketika disapu mendung
padahal,
aku adalah jiwa dan ragamu.
aku adalah teman hingga akhir hayatmu.
aku adalah malaikat yang akan memelukmu hingga kau terlelap...

Berperang Demi Cinta

Kekasihku,
demi hangat pelukmu, lembut kecupmu dan belai cinta sucimu,
aku rela memasuki medan perang sekalipun di dalamnya aku bisa mati...
Kekasihku,
percayalah bahwa semua itu kulakukan
semata demi membuktikan betapa nafas jiwaku
takkan pernah mengenyam manisnya kehidupan
jikalau aku tak pernah mengenal dan mencintaimu...
(By Kahlil Gibran)

Bidadari

Titik-titik embun terpendam dalam gema yang berpantulan di antara perbukitan
memecahkan emosi yang tak tertahan.
tanganmu menggapaiku membawa serta kesejukan.
tak terbayangkan, jika kau tiada.
kau adalah bidadariku yang menampung tangisku, keluhku dan matiku...

Setyo Enggar Baladewa

Aku sapa engkau pada langkah terakhir
kau hanya diam membisu
dingin, matamu tak berbinar.
entah apa yang kurasakan saat itu,
ketika kupandangi tubuh semampaimu.
ada noda terlihat, meski itu bukan sejumput dosa.
bukan pula selembar dendam

engkau percikkan sekeping nyali untuk takut dan berharap
dari rongga dadaku hingga liang kuburku,
engkau adalah jiwaku, sejak engkau persembahkan sang malaikat kecil
... Setyo Enggar Baladewa..., anakku.

Terbang

Terbang sendiri menembus langit
berkejaran dengan awan, rembulan, matahari dan bintang gemintang
awan putih berhampar luas tiada tepi
angin kencang menampar wajah
... memerah sungguh...
tak disangka, badai menghadang ganas
marah menyulut angkara murka

Rahasia

Ada rahasiamu yang tak terkatakan
setan pun terganggu dalam keluh kesah dan ratapan
kudengar dengan rasa kasihanku yang mengandung kelemahan.

rahasiamu membuat awan menyeringai
bunga-bunga kamboja terjun bebas,
menancap di ujung pucuk ilalang menebar teka-teki

Dusta

Jauh di dasar jiwamu,
telah bertumpuk ribuan dusta.
menguyup rintik satu-satu yang terlukis abstrak di kaca jendela.
sepetak cermin menggambarkan dirimu pula,
yang dihempas angin hingga berderai

namun kau tetap tegak dalam serpihan
tersenyum memandangku penuh congkak

tulang keringku bergetar,
tak kuasa berlari dari tikaman dusta-dusta busukmu..

K a u

Berdsarkan kepada tarian warna pelangi
kau di depanku bertudung sutera senja
sepasang matamu gambarkan kembang mawar dan melati
harum rambutmu mengalun membawa gelombang lewat bulirnya
menyihirku untuk bergelut dengan diri sendiri.
tapi kau hanya berlalu,
bahkan tersenyum padaku pun kau tak mau..

Lagu Cempreng

Aku bernyanyi,laguku cempreng. untuk siapa?
lebih enak mendengar pekikan srigala di ujung senja,
atau menikmati senandung segerombol burung emprit yang melintasi hutan.

tapi lagunya lain pula
membuat semua yang mendengar menggelepar,
menebal,
mengental,
lagu yang tak kukenal: selamat tinggal

Isteriku...

Isteriku,
Kita berdua punya taman
memang tak lebar, apalagi luas. kecil saja sudah cukup.
cukuplah untuk kau dan aku mencurahkan segala ungkapan cinta, amarah, kekesalah, kecemburuan, kerinduan dan keluhan.
bunga-bunganya menggembirakan hati karena menawarkan banyak warna.
walaupun rumputnya tak seperti permadani
bagi kau dan aku,tak menjadi masalah
karena taman itu hanya punya kita berdua.
tempat bernyanyi, bercengkrama dan tempat waktu akan merenggut usia kita.

Isteriku,
peganglah kedua tanganku, dan tatap mataku.
Aku Mencintaimu....

kuasa

tak kuasa aku,
ketika malam memakan segala yang rakus
menguyahnya hingga lumat dan memuntahkannya dan tak ada yang tersisa di lambung busuknya.

tak kuasa aku,
ketika malam harus melahap putaran waktu yang tiada henti
baru akan terhenti, jika yang hidup telah mati

dalam pelarian

Dalam pelarian, remang bersengketa di sini.
paduan dari dua sukma, antara siang dan petang.
antara petang dan malam, antara malam dan pagi, dan antara pagi dan siang.

Dalam pelarian
tempat menerima segala,
termasuk sampah yang beterbangan dibawa angin yang marah.
angin menghempaskan pintu dan jedela hingga tak terhingga.
hancuir berkeping, luruh jatuh ke tanah

barangkali...

barangkali,
aku tak perlu lagi menyulut sunyi.
apinya terlalu kecil dan tak cukup panas untuk membakar keriuhan itu.

anak-anak masih bugil di kali dengan jeritannya
saling mencipratkan air ke wajah-wajah lugu itu sambil menunggu bedug maghrib bertalu
ibu-ibu masih memunguti ranting di ladang, mengikatnya untuk dibawa pulang,
dan menyanyikan lagu-lagu langgam jawa.
pria-pria dewasa masih bermandi keringat di kebun tebu
raungan truk-truk kotor berdebu, kian menambah keriuhan hari.
petani di sawah masih meneriaki burung-burung penggangu padi.
lengguhan induk kerbau bernada panik mencari anak-anaknya yang tercecer..
...dan kegaduhan lainnya.

barangkali,
aku tak perlu lagi menyulut sunyi.
apinya terlalu kecil dan tak cukup panas untuk membakar keriuhan itu.

Kecup

Kubentuk duniaku sendiri
dan kuberi pula makna hidup segala hal yang dikira orang mati...

kecup,
keduplah aku terus jangan hiraukan mereka.
seperti petani yang beranjak pulang di senja hari,
tak lagi peduli pada padi menguning.

Mampus

terakhir kali menghadap, seikat mawar ditangannya.
ditebarkan dihadapan kekasihnya dengan ucapan pasti dari bibirnya;...ini untukmu...

Kedunya lalu membiarkan diri diam dan termangu
bodoh sekali dan hanya saling bertanya dalam hari
apakah ini?
cinta?
keduanya tak saling mengerti....

ohhh...
hatinya yang tak mau memberi,
mampus kau dikoyak-koyak sepi!!!!!!!