SETIAP orang telah memiliki garis tangan dan perjalanan hidupnya masing-masing. Ada yang dianugerahi kehidupan yang serba kecukupan, dan ada juga yang harus hidup serba kekurangan, bahkan untuk makan sehari-hari.
Seperti kisah yang dialami oleh seorang nenek renta bernama Haminah, 82 tahun yang harus merasakan pedihnya kehidupan, mengiringi semakin keriput kulitnya. Tak hanya harus hidup sebatang kara sejak suami dan anak-anaknya telah tiada, namun Nenek Haminah juga terpaksa harus berjuang keras untuk melanjutkan hidupnya dalam kesendirian yang teramat berat.
Nenek Haminah adalah warga RT 11 Dusun Balai Nanga, Desa Penyeladi, Kecamatan Kapuas, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat.
Gambaran nasibnya sungguh menyedihkan, bergelut dengan segala kekurangan. Hidup sebatang kara di rumah sangat sederhana bantuan Pemerintah Daerah Kabupaten Sanggau beberapa tahun lalu, ia melewati hari-harinya dalam kesendirian sejak tahun 1992 silam. Hanya tetangga sekitar yang masih menghibur kesepiannya.
Sebelumnya, untuk bertahan hidup, Nenek Haminah berkeliling kampung untuk berjualan kue buatan tetangganya. Namun seiring dengan usianya yang kian senja dan tubuhnya yang makin renta serta sakit-sakitan, ia sudah tidak mampu lagi melakukannya.
Langkah kakinya sudah terseok-seok, pandangan matanya juga telah mengabur, termasuk kemampuan pendengaran telinganya pun sudah berkurang. Praktis, sudah tidak ada lagi kemampuan untuk mencari nafkah. Untuk kebutuhan makan dan minum wanita malang ini, ia mengandalkan belas kasihan dari warga sekitar yang dengan sukarela memberi bantuan seadanya.
Saat disambangi ke rumahnya, dengan sangat ramah Nenek Hamidah menyambut dengan baik. Bahkan juga rela untuk melayani ngobrol, walaupun suaranya sudah mulai tidak jelas dan terbata-bata karena faktor usianya.
“Pituk ‘am antong kula tingal, tuk pun dipolah pemerintah. Segala boras mesik, kula mada berapi. Tuk tih, dah nak tiduk am kaji, ngilang-ngilang rasa lapar tuk,” turur Nenek Haminah dengan Bahasa Melayu yang masih kental dialeknya.
Jika diterjemahkan bebas dalam Bahasa Indonesia, kira-kira artinya seperti ini; “Begini lah rumah tempat tinggal saya, ini pun dibuat oleh pemerintah. Beras tidak ada, makanya saya tidak masak. Sekarang sudah mau tidur saja, untuk ngilang rasa lapar”.
Beruntung, Nenek Haminah hidup di lingkungan masyarakat yang masih menjunjung nilai-nilai kemanusiaan tinggi. Memiliki tetangga-tetangga yang baik yang selama ini memperhatikan seluruh kebutuhannya. Para tetangga yang prihatin dengan kondisi Nenek Haminah, kerap menjenguk untuk melihat kondisi wanita yang ditinggal meninggal oleh suaminya sejak puluhan tahun silam itu.
Menurut Kepala Dusun Balai Nanga, Akhmad Gunung, menuturkan, kondisi janda tua itu memang sangat menyedihkan. Kondisinya jauh dari layak. Memang diakui oleh Kadus, bantuan pemerintah memang mengalir, namun tidak rutin setiap bulan. Sifat bantuannya tidak menentu, bahkan setahun sekali pun tidak pasti.
“Sekarang ini, kondisi kesehatan Nenek Haminah sudah semakin menurun dan sering sakit-sakitan. Semoga, melalui pemberitaan lewat media massa tentang kondisi Nenek Haminah ini, bisa menjadi menjadi perhatian pemerintah untuk memberikan bantuan secara rutin kepada Nenek Haminah,” ujarnya penuh harap. (*)
CATATAN: Jika ada dermawan/donatur yang ingin menyumbang, bisa datang langsung ke kampung Nenek Haminah. Atau ke rekening BNI 0205385272, a/n Sri Wanto Winarno. Konfirmasi bisa ke email saya: winarno@pontianakpost.com, dewoabimanyu@yahoo.com. Thanks
Tidak ada komentar :
Posting Komentar